Senin, 23 April 2012

Antara “Ngaji” dan “Ngurusi” Fitnah

Kali ini, mata saya tertarik membaca sebuah note facebook teman, al-akh Wira Mandiri Bachrun (ikhwan MIPA UGM yang kini menimba ilmu di Darul Hadits Syihr, Hadramaut – Yaman). Beliau -jazahullah khairan-menuliskan faidah yang sangat penting dan perlu kita renungkan bersama. Judul aslinya adalah Antara Silsilah Durus, Kita, dan Fitnah. Berikut ini pesan nasehat beliau:
 —
-
Di awal-awal saya tiba di Yaman, seorang teman Yamani meminjamkan sebuah kitab yang berjudul Minhaj Thalibil Ilmi. Kitab yang ditulis oleh salah seorang murid Asy Syaikh Muqbil ini berisi silsilah durus, daftar kitab yang dipakai oleh para ulama dan harus dipelajari oleh seorang penuntut ilmu agar bisa mapan dalam ilmu. Begitu membaca satu persatu judul kitab-kitab tersebut saya baru sadar bahwa perjalanan ini akan sangat panjang. Seingat saya, di antara judul kitab-kitab tersebut:

 Dalam bidang tauhid:
 Al Qawaidul Arba’
Al Qoulul Mufid fi Adillatit Tauhid
Al Waajibat Al Mutahattimaat
Al Ushul Ats Tsalatsah
Kitaabut Tauhid Kasyfu
Asy Syubuhaat Tathiirul I’tiqaad
 Fathul Majid
 Taisir Azizil Hamid


Dalam bidang Aqidah – Asma was Sifaat: 
 Lum’atul I’tiqaad
Al Qowaaidul Mutsla
Al Aqidah Al Wasithiyah
 Al Aqidah At Thawiyyah
Syarh At Thahwiyyah
 Risalah At Tadmuriyyah
Syarhus Sunnah

Dalam bidang hadits:
 Arbain An Nawawiyah
Umdatul Ahkam
 Bulughul Maram
Al Lu’lu’ wal Marjaan S
hahih AL Bukhari
Shahih Muslim
 Kutubus Sunan

Dalam bidang bahasa Arab:
Al Aajurumiyyah
At Tuhfatus Saniyyah
Mutammimah Al Ajurumiyyah
 Qatrun Nada
Alfiyyah Ibnu Malik

Dalam bidang Imla’
 Tuhfatul Markaziiyyah
Qawaid Al Imla’

Dalam Bidang Mustalahul Hadits: 
Al Baiquniyyah
 Mukhtashar Ulumil Hadits
Al Muqidhah
Tadribur Rawi
Dhawabith Jarh wat Ta’dil
Syarh Ilal At Tirmidzi

Dalam Bidang Ushul Fiqh
Al Waraqaaat
Al Ushul min Ilmil Ushul
Al Mudzakkiraat
Ar Risaalah karya Imam Asy Syafi’i

Dalam bidang ushul tafsir:
Ushul fi Tafsirr Muqaddimah
Ushul Tafsir Ibni Taimiyyah
Qawaidul Hisan
Al Itqan lis Suyuthi 

Dan beliau hafizhahullah masih menyebutkan daftar kitab yang panjang yang butuh waktu yang panjang pula untuk mempelajarinya.

 Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa ilmu agama begitu luas. Taruhlah kita enggak usah hitung ilmu-ilmu alat. Cukup ambil tauhid, aqidah, dan fiqh, yang berhubungan ibadah sehari-hari dan yang antum perlukan untuk mendakwahi keluarga dan orang-orang terdekat. Sudahkah antum mencicipi kitab tersebut dengan mempelajarinya? Bahkan mungkin di antara antum ada yang baru pertama kalinya mendengar judul kitab-kitab tersebut? 

 Sekarang kita masuk ke inti tulisan ini…. 

 Kalau sudah tahu betapa banyaknya perkara yang perlu kita pelajari, masihkah kita habiskan waktu untuk mengurusi perkara-perkara yang tidak bermanfaat? Atau bahkan yang lebih parah dari itu, kita sibukkan diri kita dengan berbagai fitnah yang sebenarnya bukan porsi kita untuk mengurusinya?

 Mungkin di antara kita sudah lama mengenal dakwah. Ada yang sudah lima tahun, sepuluh, bahkan belasan tahun sudah mengenal dakwah salafiyah. 
 Dari jangka waktu yang panjang tersebut, sudah seberapa banyak ilmu Diin yang sudah kita pelajari dan kita amalkan? 
Wallahi demi Allah, saya banyak melihat ikhwah -semoga Allah menunjuki
kita dan mereka semua- bertahun-tahun mengaji tapi sama sekali tidak nampak perubahan dari sisi ilmu dan amal. Tapi anehnya ketika diajak bicara tentang fitnah, si fulan hizbi, ustadz fulan sudah menyimpang, dan tema-tema yang semisalnya masya ALLAH.. Sepertinya ilmunya sudah begitu luas. Yang seperti ini tidaklah sepantasnya.

 Bukan berarti kita meninggalkan dari memperingatkan dari dai-dai penyesat umat. Tapi semua ada porsinya. Pikirkan diri antum, keluarga antum, orang tua antum, karib kerabat antum. Bukankah mereka butuh dakwah? Dan bukankah dakwah butuh kepada ilmu? Kalau antum sibukkan diri dengan fitnah, kapan antum sibuk dengan ilmu? Kapan antum mau berdakwah? Apakah antum lantas ingin berdakwah tanpa ilmu?

 Sebagian ikhwan mengatakan “Kalau kita enggak ikut-ikutan bicara fitnah, takutnya kita dibilang hizbi, dibilang memble, mumayyi’ dan seterusnya…” Ya akhi fillah, kenapa harus takut? TAKUT itu hanya kepada ALLAH. Bukan kepada manusia. Kalau memang bukan maqam antum untuk bicara, kenapa harus takut untuk tidak bicara? 

 Mungkin ini sedikit nasihat dari ana, saudaramu fillah. Tidaklah nasihat ini disampaikan melainkan karena kecintaan kepada antum dan juga berbagi dari pengalaman, belajar dari kesalahan yang sudah terjadi, agar tidak kembali terulang pada diri antum.

 Waktu terus berjalan. Kita tidak tahu kapan Allah akan cabut nyawa kita. Akankah antum masih sibukkan diri dengan fitnah di tengah kejahilan yang melanda? 

 —selesai penukilan—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar